Reog Ponorogo Budaya Bangsa Yang Mendunia
Reog Ponorogo adalah ikon budaya kebanggaan Kabupaten Ponorogo. Tidak ada yang tahu pasti apa arti kata ‘reog’ itu. Ada yang bependapat bahwa ‘reog’ berasal dari kata Jawa ‘rèyog’, yang terkadang mengalami repetisi menjadi ‘rèyag-rèyog’. Dalam bahasa Jawa, ‘rèyog’ dan ‘rèyag-rèyog’, berarti sesuatu yang berayun atau bergerak menyamping bergantian ke setiap sisi.
Hubungan kata ‘rèyog’ dengan Reog Ponorogo, terletak pada gerakan barongan ‘Dhadhak Mêrak’ ketika dimainkan. ‘Dhadhak Mêrak’ berupa kepala macan di bawah seekor burung merak yang sedang mengembangkan keindahan ekornya. Wujud ‘Dhadhak Mêrak’ ketika dimainkan memang sangat atraktif, dengan gerakan yang gesit dan lincah menyambar-nyambar. Nah, dari gerakan ‘Dhadhak Mêrak’ yang meliuk dan menyambar ke sana ke mari itulah kemungkinan nama Reog Ponorogo bermula.
Selain Reog Ponorogo, ada juga kesenian Reog Tulungagung dan Reog Sunda. Reog Tulungagung adalah kesenian yang berkembang di Kabupaten Tulungagung, yang melibatkan beberapa pemain gendang berukuran kecil, yang bergerak menari bergoyang meliuk-liuk, sambil bergantian menabuh gendang. Adapun, Reog Sunda juga masih mirip dengan Reog Tulungagung, namun ditambah dengan sya’ir dan dialog berbahasa Sunda.
Asal Usul Reog Ponorogo
Sejarah awal-mula kemunculan kesenian Reog Ponorogo masih belum dapat direkonstruksi secara rinci. Namun, dari cerita rakyat yang berkembang di daerah Ponorogo, kita dapat merunut kesenian Reog Ponorogo berdasarkan legenda tokoh Bathara Katong, Ki Ageng Surya Ngalam, dan Ki Ageng Mirah.
Dahulu, pada masa Majapahit akhir, bertahtalah Sang Prabhu Kertabhumi. Sang Raja mempunyai istri cantik dari kerajaan Cina, yang biasa disebut Putri Cina. Dalam cerita rakyat, tokoh Putri Cina sering rancu dengan tokoh Putri Cempa. Dikisahkan, bahwa Raja Majapahit itu sangat sayang kepada istrinya, putri Raja Cina yang sulit disamai kecantikannya. Karena rasa sayangnya itu, hampir semua permintaan Sang Putri Cina selalu dikabulkan.
Ada ahli sastra dari pulau Bali, yang dipanggil ke Majapahit karena kehebatannya. Sastrawan yang bernama Kutu ini, diangkat menjadi Pujangga Anom di Majapahit. Dalam bahasa Jawa kuna, ‘pujangga’ sering dilafalkan dengan ‘bujangga’. Sang Bujangga Anom lalu dianugerahi tanah Pêrdikan (wilayah yang dibebaskan dari pajak) Wengker (sekarang menjadi Ponorogo) karena jasa dan kesetiaannya kepada Majapahit, bergelar Ki Gedhe Surya Bhuwana atau Ki Ageng Surya Ngalam.
Bujangga Anom Majapahit sekaligus Ki Gedhe di Pêrdikan Wengker itu, lambat laun menjadi muak melihat perilaku Putri Cina yang sangat mendominasi keputusan Raja Majapahit. Sudah seringkali Sang Raja diperingatkan akan kemungkinan kewibawaannya di mata rakyat dapat merosot bila terus menuruti Sang Putri Cina, tetapi tetap tak dihiraukannya.
Sang Bujangga Anom kemudian memutuskan untuk berdiam di Perdikan Wengker, dan tidak akan pernah menghadap rajanya di Trowulan, sampai Raja Majapahit itu bersikap tegas kepada istrinya itu. Sang Raja sangat sedih kehilangan pujangganya yang pandai, sekaligus marah besar karena merasa dikhianati oleh salah seorang pejabatnya.
Tiga tahun sudah, kejengkelan mendera Sang Bujangga Anom. Tiga tahun pula dia berusaha menyadarkan rajanya dengan pesan-pesan yang dibungkus karya seni. Ia membuat tontonan berupa tokoh yang memakai topeng macan, dengan seekor burung merak di atas kepalanya, sedang memamerkan keindahan bulu-bulu ekor. Lalu ada tokoh yang memakai topeng buruk rupa, sedang berusaha menggangu tokoh pertama. Sepanjang pertunjukan itu, selalu dikawal oleh para pendekar yang dikatakan setangguh ‘warak’ (dalam bahasa Jawa kuna berarti hewan badak).
Tokoh yang memakai topeng macan dengan burung merak di atasnya, menggambarkan Raja Majapahit yang sakti bagaikan harimau tetapi tunduk terhadap Putri Cina yang cantik seperti merak. Sedangkan, tokoh yang memakai topeng buruk rupa dan selalu mengganggu tokoh pertama, menggambarkan Sang Bujangga Anom yang berusaha memperingati Raja Majapahit namun selalu diabaikan. Adapun, Para pengawal pertunjukkan yang merupakan orang pilihan yang sehebat binatang ‘warok’, menggambarkan barisan tentara Majapahit yang gagah perkasa.
Murka Raja Kertabhumi tak dapat dibendung lagi, setelah mengetahui pujangganya yang menjadi Ki Ageng Wengker tidak pernah menghadiri upacara di Majapahit. Sedangkan dalam tata negara Majapahit, seorang pejabat dikatakan makar bila tak menghadap dalam upacara tahunan kerajaan sebanyak tiga kali. Sang Raja bertambah marah, ketika mendengar Ki Ageng Wengker sudah berani membuat tontonan yang menyindir dirinya.
Raja Majapahit memerintahkan putranya dari selir Putri Bagelen yang bernama Raden Talijiwa, untuk menggempur Wengker yang dianggap memberontak kepada Majapahit. Pangeran Talijiwa hanya membawa pasukan kecil, karenaPêrdikan Wengker dianggap lemah, dan dilarang pulang sebelum menang. Namun setelah menghadapi pasukan Wengker, ternyata dugaan tersebut salah. Pasukan Majapahit hancur kocar-kacir oleh para ‘warak’ pertunjukan, yang ternyata adalah para pendekar sakti. Sedangkan, Sang Pangeran kalah oleh kesaktian keris pusaka andalan Ki Ageng Kutu.
Tubuh Raden Talijiwa, yang dibiarkan tergeletak karena dikira sudah mati oleh Ki Ageng Surya Ngalam, malah dirawat oleh putri Ki Ageng Kutu sendiri, yang jatuh cinta akan ketampanan dan keberanian pangeran dari Majapahit itu. Pangeran muda tersebut disadarkan dari pingsannya dan disembuhkan luka-lukanya, di sebuah pondok yang tersembuyi di pinggir hutan. Selama masa perawatan, Raden Talijiwa pun akhirnya jatuh cinta kepada anak perempuan Ki Ageng Surya Ngalam.
Setelah pulih kekuatannya, Raden Talijiwa lalu pamit kepada putri Ki Gedhe Kutu untuk bertapa di telaga Ngebel, demi mendapat petunjuk Dewata. Dalam tapa kungkumnya (berendam di air), Raden Talijiwa mendengar wangsit bahwa kelak akan ada orang yang membantunya menjadi penguasa semulia dewa (dalam bahasa Jawa Kuna yaitu: ‘bathara katong’) di tanah Wengker.
Alkisah di padepokan Kangjeng Sunan Kalijaga, seseorang telah dipersiapkan untuk membantu pangeran dari Majapahit berjuang menggapai takdirnya. Kiyai Mirah diperintahkan oleh gurunya, untuk mengajarkan Islam kepada Raden Talijiwa. Kangjeng Sunan Kalijaga berpesan kepada muridnya, bahwa kelak Pangeran Talijiwa akan berandil besar dalam mengembangkan Islam di wilayah Wengker dan sekitarnya.
Kaget Sang Pangeran Majapahit, ketika melihat ada orang yang telah menunggunya di pinggir telaga. Dalam perbincangan mereka, Kiyai Mirah menyatakan kesanggupannya untuk membantu tugas Raden Talijiwa. Selama pertemuan itu, Pangeran Talijiwa sangat tertarik dengan ajaran Islam, karena kepandaian Kiyai Mirah dalam menjelaskan ilmu kehidupan. Akhirnya pangeran Majapahit itu menyatakan diri masuk Islam.
Kiyai Mirah menyarankan Raden Talijiwa agar merayu putri Ki Gedhe Kutu untuk mengambil keris pusaka ayahnya, supaya tugas negara dari Majapahit dapat segera terpenuhi. Kemudian pangeran muda itu segera menemui kekasihnya, dan memintanya untuk mengambilkan keris ayahnya demi tercapai cita-cita mereka untuk segera bersatu.
Pangeran Talijiwa lalu mendatangi banjar Pêrdikan Wengker, beserta para prajurit Majapahit yang selamat dari pertempuran terdahulu. Lemas lunglai Ki Ageng Surya Ngalam, ketika mendapati keris pusakanya telah berpindah tangan. Akhirnya ia menyerah, dan mengikhlaskan putri satu-satunya untuk dinikahi oleh putra rajanya itu. Tiada yang tahu nasib Ki Ageng Surya Ngalam selanjutnya. Ada yang mengatakan ia bunuh diri, ada yang menyebutkan ia dibawa ke Majapahit untuk dihukum, ada pula yang berkata bahwa ia pulang menyepi ke Bali.
Raja Kertabhumi gembira menerima kemenangan putranya itu. Pêrdikan Wengker lalu dihadiahkan kepada Pangeran Talijiwa, dan dititahkan menjadi sebuah kadipaten (kerajaan kecil) di bawah Majapahit. Di Wengker, Pangeran Talijiwa dengan gelar Kangjeng Adipati Bathara Katong, membangun kadipaten baru dengan nama Ponorogo (dalam bahasa Jawa ‘panaraga’ berarti sadar akan kesejatian dirinya). Sedangkan banjar Pêrdikan Wengker lama, dihadiahkan kepada Kiyai Mirah, yang kemudian bergelar Ki Ageng Mirah.
Ki Ageng Mirah berinisiatif untuk tetap melestarikan kesenian ciptaan Ki Ageng Surya Ngalam, dengan sedikit perubahan. Dikaranglah cerita yang bergenre Cerita Panji, yang memang sangat populer pada zaman Majapahit. Dalam cerita itu, tersebutlah seorang putri cantik yang mau menikah bila ada pemuda yang dapat menghadirkan hewan berkepala dua. Tiada seorang pun dari para raja dan pangeran yang mampu memenuhi sayembara tersebut.
Alkisah, ada seorang raja bernama Prabhu Singabarong yang hendak mengikuti sayembara. Di tengah perjalanan, bertemu dengan serombongan pasukan berkuda yang dipimpin oleh Pangeran Panji Kelana Sewandana, yang juga berniat memenangkan sayembara. Mereka berdua segera terlibat dalam sebuah pertempuran seru. Karena sama-sama sakti, Raja Singabarong lalu bertiwikrama menjadi siluman yang sakti serupa macan sekaligus luwes seperti merak.
Pangeran Panji Kelana Sewandana kemudian menggunakan cemeti pusakanya untuk meringkus siluman berkepala harimau dan merak itu. Raja Singabarong yang berperang bersama para prajuritnya dan punakawannya yang bernama Ki Bujangganong itu, takluk oleh kesaktian cemeti andalan musuhnya. Alhasil, Panji Kelana Sewandana berhasil memenangkan sayembara, ketika menghadirkan Raja Singabarong yang berwujud siluman berkepala dua.
Macan merak yang menyindir Raja Kertabhumi, diubah menjadi tokoh Raja Singabarong. Tokoh yang menggambarkan Bujangga Anom yang berusaha memperingati Raja Majapahit, diubah menjadi punakawan Ki Bujangganong. Para ‘warak’ berubah menjadi ‘warok’, yang menjadi pendekar pelindung Pêrdikan Wengker. Lalu muncul tokoh tambahan Panji Kelana Sewandana yang bersenjata cemeti, diringi oleh barisan kuda lumping yang menggambarkan pasukan berkuda. Melihat gerak yang ditampilkan para pelaku jenis kesenian khas Ponorogo, Jawa Timur, Reog Ponorogo, terlintas kesan mistis di dalamnya.
Post a Comment for "Reog Ponorogo Budaya Bangsa Yang Mendunia"